Masyarakat Kecamatan Solokuro dalam Balutan Seni Classic dan Modern
Ketika kita memasuki desa-desa di
Kecamatan Solokuro, sekilas kita tidak akan menemukan hal yang unik di dalamnya,
hanya sebuah desa biasa dengan hamparan sawah dan ladang dimana-mana. Sepanjang
kita mengitari kecamatan ini, yang kita lihat adalah dari dini hari banyak kaum
lelaki yang pergi ke sawah dan ladang, dan perempuan pergi ke pasar, sedangkan
anak-anak pergi ke sekolah, seperti kegiatan masyarakat pada umumnya.
Dari rutinitas pagi hari yang kompleks
mulai dari anak-anak sampai dewasa memberi mereka sedikit ruang untuk hal lain.
Pada siang harinya mereka akan menyudahi kegiatan mereka tersebut, otomatis
pada siang hari mereka akan mempunyai banyak waktu luang yang sangat banyak.
Ketika manusia mempunyai banyak waktu luang mereka akan berfikir dan mencoba
untuk mengisi waktu tersebut dengan kegiatan lain agar tidak terbuang percuma,
salah satunya dengan kesenian dan lain sebaginya. Seperti dalam konsep kata leisure (waktu luang) berasal dari kata licer yang dalam Bahasa latin berarti
diizinkan, diperkenankan atau diperbolehkan (to permit or allow). Waktu luang (leisure) didefinisikans ebagai “permission
to do as one on pleases at one’s own pace, to participate in activity of one’s
own choice, and to abandon the activity at will” (Cordes & Ibrahim,
1999, 05). Sejalan dengan Neulinger (1978) yang menyatakan bahwa leisure adalah waktu luang suatu keadaan
lawan dari bekerja. Kemudian Bonniface dan Cooper menambahkan bahwa leisure adalah “a combined measure of time and attitude of mind to create periods of
time when other obligations are at a minimum” 9dalam Cooper et al, 1998,
11). Berdasarkan definisi-definisi di atas, waktu luang adalah waktu di luar
seorang individu tersebut untuk melaksanakan kegiatan yang memperkenankan
individu tersebut bebas berpartisipasi dalam aktivitas dan kesenangan yang
diinginkan.
Tapi jika kita menelisik lebih dalam
lagi pada saat-saat tertentu banyak hal unik yang akan kita temukan di daerah
ini. Kebudayaan masyarakat Kecamatan Solokuro secara menyeluruh banyak
dipengaruhi oleh aspek-aspek kepercayaan dan religi. Seperti yang biasanya
dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat Kecamatan
Solokuro menjalankan selamatan yang berhubungan dengan tahap-tahap lingkaran
hidup. Tahap-tahap lingkaran hidup tersebut antara lain mengenal adanya
upacara-upacara adat layaknya di daerah lain seperti; selamatan dari tujuh
bulan usia kandungan sampai kelahiran, selamatan tiap weton(1) anak,
pembacaan talqin pada saat penguburan mayat, tahlilan dari malam pertama sampai
ketujuh setelah orang meninggal, kemudian ada hari ke 40 setelah kematian, hari
ke 100 setelah kematian, dan hari ke 1000 setelah kematian dan sebagainya.
Jenis-jenis upacara tersebut sebenarnya tidak terdapat dalam ajaran islam dan
pada masa-masa berikutnya seiring dengan lahirnya golongan-golongan pembaru
islam yang sudah melembaga cenderung tentang keberadaannya. Walaupun demikian
bagi masyarakat Solokuro hal itu sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka
secara menyeluruh.
Untuk Kecamatan Solokuro terutama Desa
Solokuro pada khususnya mempunyai satu kesenian yang khas yaitu “kentrung”.
Kesenian khas tersebut semacam orang yang umumnya disebut dalang yang
menceritakan sebuah dongeng atau legenda seperti contoh cerita Sunan Drajat,
dalang tersebut bercerita diatas panggung dengan ditemani alat-alat rebana atau
alat-alat perkusi lain. Umumnya kesenian kentrung ini diselenggarakan pada
momen-momen sedekah bumi, sunatan, atau pun slametan. Salah satunya kesenian
kentrung yang masih terlihat eksistensinya adalah kesenian kentrung yang
dipimpin oleh H. Ach. Khusairi dengan nama grup “Kentrung Sunan Drajat”.
Kentrung Sunan Drajat memiliki cerita yang khas yaitu cerita Legenda Sunan
Drajat. Selain itu Kentrung Sunan Drajat merupakan kesenian tradisional yang
masih sangat diminati oleh masyarakat setempat dengan intensitas pertunjukan
yang bisa rata-rata sampai 3-4 kali dalam satu bulan.
Selain seni-seni pertunjukan panggung
seperti kentrung, ada juga seni pertunjukan khas masyarakat Solokuro yang lain
yaitu kesenian “Jaran Jenggo”, kesenian ini jarang di dengar oleh masyarakat
umum, tapi untuk masyarakat sekitar, kesenian ini akrab sekali dengan
masyarakat, sering di undang pada acara khitan/sunatan. Maka dari itu, kesenian
ini tidak begitu eksis seperti kesenian lain yang bisa terkenal di
daerah-daerah sekitar.
Minat akan seni pertunjukan masyarakat
Kecamatan Solokuro ternyata bukan hanya sebatas itu, tapi seni panggung lain yang
lebih modern seperti halnya musik dangdut koplo pun mempunyai tempat di hati
masyarakat Kecamatan Solokuro. Musik dangdut koplo sekarang ini bisa lebih
diterima oleh semua kalangan masyarakat setelah musisi-musisi daerah lebih
kreatif dalam mengemas musik-musik dangdut dengan cara mengkolaborasikan
lagu-lagu yang berirama atau ber-genre lain yang diiringi dengan alunan musik
dangdut, dengan mudah dan cepat diubah menjadi lagu yang diiringi oleh musik
dangdut. Sehingga efek yang terjadi selanjutnya masyarakat lebih akrab dengan
musik yang beraliran dangdut koplo ini.
Di daerah Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan, musik dangdut seakan menjadi hal yang mereka konsumsi setiap harinya,
hal itu terbukti dengan banyak diadakannya pentas-pentas musik dangdut pada setiap
acara yang diadakan oleh masyarakat, dalam kurun waktu satu tahun satu desa
bisa mengadakan 5 kali pertunjukan orkes dangdut koplo. Sebagai contoh pada
acara khitanan, pernikahan, pesta rakyat, peresmian, baik yang dimainkan oleh
organ tunggal ataupun dalam bentuk grup musik dangdut (Orkes Melayu (OM)).
Selain itu, di rumah-rumah mereka hampir setiap hari mendengarkan musik
dangdut, bukan hanya itu playlist musik di handphone mereka mulai dari anak SMP
sampai orang dewasa kebanyakan 70% adalah musik dangdut.
Dilihat dari sisi konten atau lirik
yang dinyanyikan mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan masyarakat
Kecamatan Solokuro, terutama pada kalangan pemuda. Karena setiap lagu yang
dinyanyikan menggambarkan kisah cinta salah satunya, bagaimana romantisme dalam
kehidupan asmara mereka (para pemuda) terbingkai dalam satu lirik lagu.
Misalkan mengenai bagaimana seseorang sedang jatuh cinta, bagaimana romantisme
orang yang sedang pacaran, bahkan sampai pada gambaran lirik orang yang putus
cinta.
Pada intinya, dangdut koplo adalah
musik yang “merakyat”. Dangdut koplo dapat masuk ke dalam semua lapisan
masyarakat. Penerimaan ini terjadi karena dangdut mampu menarik minat
masyarakat terutama pemuda. Seperti halnya ketika dangdut koplo dapat menyanyikan
berbagai lagu dari banyaknya aliran musik yang ada seperti rock, punk, pop,
metal, reggae, dan lain sebagainya, ini menjadi ketertarikan sendiri bagi para
pemuda untuk menerima dangdut koplo.
Begitu akrabnya masyarakat Kecamatan
Solokuro dengan seni-seni pertunjukan. Tidak heran jika banyak seni-seni pertunjukan
tradisional maupun modern tampil atau pun tumbuh di daerah ini. Seni
pertunjukan bagi semua daerah memang menjadi suatu hal yang tidak asing, bahkan
beberapa daerah pun memiliki seni pertunjukan khas tersendiri. Tapi untuk
daerah Kecamatan Solokuro, seni pertunjukan bukan hanya sebagai tempat hiburan,
melainkan seperti melekat pada seluruh lapisan masyarakat.
(1) Weton menurut Bapak Muhammad Baqir adalah hari pasar dimana anak tersebut lahir, hari pasar itu ada; pon, wage, kliwon, legi, pahing. Missal anak tersebut lahir di hari senin, setelah dilihat hari senin itu bertepatan dengan hari pasar pon, berarti weton anak tersebut adalah senin pon. Weton menurutnya mempunyai banyak kepercayaan bagi masyarakat Jawa pada umumnya, entah itu bersifat mistik atau tidak, tapi kebanyakan masyarakat Jawa mempercayai weton untuk hal yang bersifat ramalan atau juga weton sebagai pangkal atau dasar untuk menentukan sesuatu, seperti halnya pernikahan, pindahan rumah, dan lain sebagainya.
wah daerah saya ini
BalasHapuswah selamat membaca
Hapus