Sejarah Gapura Bajang Ratu (Candi Bajang Ratu) Trowulan Mojokerto
Lokasi : Dk. Kraton, Ds. Temon, Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto
Bahan Bangunan : Bata Merah dan Batu Andesit
Ukuran Bangunan : Panjang 11,50 m, Lebar 10,50 m, Tinggi 16,50 m.
Ukuran Bata Merah : Panjang 37 cm, Lebar 20 cm, Tebal 7,5 cm.
Luas Area : 11,500 m².
Keterangan
Nama Bajang Ratu mungkin ada
hubungannya dengan Jayanagara. Bajang artinya kecil / kerdil / tidak jadi.
Seperti istilah Pabajangan yang berarti kuburan anak kecil. Menurut kitab
Pararaton maupun dalam legenda, Jayanagara dinobatkan menjadi raja ketika masih
kecil (bajang) sehingga gelar Ratu Bajang sangat melekat pada dirinya.
Denah bangunan berbetuk persegi empat
dengan ukuran 11,5 x 10,5 m. Tinggi bangunan 16,50 m, tinggi lorong pintu 1,40
m. Secara vertical Gapura Bajang Ratu dibagi menjadi tiga bagian (kaki, tubuh,
dan atap). Tinggi kaki gapura 2,48 m, struktur kaki terdiri dari bingkai bawah,
badan kaki, dan atas. Pada sudut kaki masing-masing terdapat hiasan atau panil,
kecuali pada bagian kiri depan dihiasi dengan relief Sri Tanjung. Dalam kisah
tersebut muncul tokoh Ranini, jelmaan Dewi Uma Sakti Siwa.
Nama Bajang Ratu pertama kali disebut
dalam Oudhi Kunding Verslag (OV) pada tahun 1915. Penyelamtan yang pertama
dilakukan pada tahun 1890 dengan jalan dipasang balok kayu sebagai penyangga
dan kemudian diganti dengan besi, karena kayu tersebut keropos. Seperti yang
dilaporkan oleh Kenebel pada tahun 1907. Penyelamatan dari keruntuhan
diselesaikan pada tahun 1915, sedangkan penggalian dan penelitian dilakukan
pada tahun 1919.
Bajang Ratu merupakan pintu masuk
dengan bentuk Paduraksa (beratap tunggal). Atapnya terdiri dari
tingakatan-tingkatan horizontal dengan puncak berbentuk kubus. Pada atap
terdapat beberapa hiasan relief, antara lain (1) relief Kalamakara, (2) relief
Naga Berkaki, (3) relief Kepala Kala, (4) relief Surya atau Matahari, (5)
relief Mata Satu atau Monocle Cyclops, (6) relief Ratna atau Mahkota.
Relief-relief di atas mempunyai fungsi sebagai pelindung atau penolak bala’
dari segala malapetaka.
Pada bingkai pintu terdapat ornamen
berupa relief binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk Sulur Gunung
sebagai hiasan. Pada samping kanan dan kiri bangunan induk panil yang agak
sempit dihiasi dengan relief Ramayana (menggambarkan peperanngan antara manusia
kera dengan manusia raksasa). Gapura ini juga disebut dengan Gapura Bersayap
(melambangkan bentuk pelepasan), karena bagian kiri dan kanan terdapat sayap,
yang kini tinggal pondasi.
Pada lantai dan atap diletakkan umpak
persegi panjang dengan empat buah lubang di bawah, dan empat buah lubang di
atas, atau juga bisa diperkirakan merupakan engsel pintu. Sementara fungsi
Gapura Bajang Ratu memiliki dua pendapat, yaitu (1) sebagai pintu masuk menuju
ke kompleks bangunan suci. Pendapat ini bersumber pada relief Sri Tanjung yang
melambangkan bentuk upacara pelepasan. Bentuk arsitektur bangunanya yang
merupakan Gapura Paduraksa seperti di kompleks makam Sendang Dhuwur
(Paciran-Lamongan), gapura Lumbangan, Blitar, dan lain-lain yang melambangkan
bentuk pelepasan atau sebagai gunung tempat tinggal para dewa pada masa
pra-Hindu. (2) Sebagai prasasti untuk memperingati wafatnya seorang Raja, dalam
hal ini adalah Jayanagara yang wafat pada tahun 1328 Masehi atau 1250 Ad.
Berdasarkan pada sumber relief
Ramayana yang bentuk dan gayanya serupa dengan dinding Candi Penataran (Blitar,
abad XIV), relief Binatang bertelinga panjang, gayanya serupa dengan relief
yang sama pada dinding Candi Jago (Malang pada XIII), relief Naga Berkaki
menunjukkan bahwa ada pengaruh Dinasti Yuan (Tiongkok, abad XIII), uraian dalam
kitab Pararton menyebutkan bahwa Jayanagara didarmakan di Kapopongan atau
Crirangga Pura dan dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Uraian dalam kitab
Negara Kertagama menyebutkan bahwa Jayanagara kembali ke dunia Wisnu pada tahun
1328 Masehi. Dharmanya di dalam Kedaton dan arcanya yang diwujudkan sebagai
Wisnu yang diletakkan di Bubad (Sirato Dinarumeng Kapopongan Biseka ring
Crangga Pura, Pratistaning Antawulan).
Menurut Krom 1928, Crangga Pura dalam
Pararaton sama dengan Crirangga Pura dalam kitab Negara Kertagama. Sedangkan
Antawulan (Pararaton) sama dengan Antarsari dalam kitab Negara Kertagama.
Sehingga disimpulkan bahwa dharma (tempat sucinya Jayanagara). Pratista bangunan
sucinya berada di Antawulan (Trowulan).
Bila prediksi di atas benar, maka
Gapura ini dapat dipastikan di dalam kitab Pararaton maupun dalam kitab Negara
Kertagama, berarti didirikan pada tahun 1340 (1262 Ad atau 12 Th), setelah
Jayanaraga wafat. Sedangkan Gapura Bajang Ratu mulai dipugar oleh pemerintah
Indonesia pada tahun anggaran 1985-selesai pada tahun 1989, dan diresmikan oleh
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun
1992.
Salah satu candi terfavorit di trowulan
BalasHapus